MBG di Lubuk Linggau Jadi Penggerak Ekonomi Lokal dan Penguatan Pangan Daerah
Pemerintah menyadari betul pentingnya masa pertumbuhan sejak dini, MBG bukan sekedar pemenuhan makan
Parlemen Iran baru-baru ini mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) baru mengatur soal hijab perempuan.
Menurut aturan yang disahkan pada Rabu (20/9/2023), perempuan dan seluruh pihak melanggar dikenakan hukuman berat, mulai dari denda sampai penjara hingga 10 tahun.
Dikutip dari CNN, peraturan ini mencakup regulasi soal dress code atau tata cara berpakaian warganya.
Dalam RUU tersebut, dijelaskan bahwa perempuan yang tidak mengenakan dengan benar bisa didenda.
Pemerintah Iran mendefinisikan busana tidak pantas sebagai pakaian ketat dan terbuka, atau baju menunjukkan bagian tubuh di bawah leher, di atas pergelangan kaki, atau di atas tangan.
Menurut Al Jazeera, aturan ini juga meregulasi pakaian laki-laki. Busana tak pantas buat laki-laki dideskripsikan sebagai pakaian terbuka yang menunjukkan bagian tubuh di bawah dada dan di atas pergelangan kaki, atau yang memperlihatkan pundak.
RUU berisi 70 pasal menjabarkan hukuman-hukuman baru bagi para pelanggar aturan, termasuk laki-laki mengenakan busana tidak pantas akan didenda. Dendanya bakal terus bertambah jika pelanggaran dilakukan berulang kali.
Kemudian, pada pasal 50, dijelaskan bahwa siapa pun tampil di ruang publik dalam keadaan telanjang, setengah telanjang, atau dalam penampilan dianggap sebagai telanjang, akan langsung ditangkap.
Namun, menurut CNN, aturan ini cukup rancu. Sebab, RUU ini tidak menjelaskan definisi “setengah telanjang” dengan mendetail.
Dikutip dari BBC, setelah disahkan oleh parlemen, RUU itu kemudian dibawa ke Dewan Wali untuk disetujui sebelum menjadi undang-undang.
Keputusan itu terjadi setahun setelah munculnya sejumlah aksi atas kematian perempuan Iran, Mahsa Amini, ditahan polisi moral karena jilbab atau hijab yang ia kenakan dinilai tidak pantas.
Para perempuan Iran membakar jilbab mereka atau melambaikannya di udara pada unjuk rasa nasional menentang institusi ulama di Iran.
Meskipun RUU sudah disahkan oleh Parlemen Iran dengan 152 suara setuju, 34 menolak, dan 7 abstain, aturan ini baru akan diimplementasikan setelah mendapatkan persetujuan dari Dewan Wali Iran (The Guardian Council). Kemudian, setelah periode percobaan selama tiga tahun, RUU ini baru bisa ditetapkan.
Banyak pihak mengkritik keras aturan tersebut. Badan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB menyebut aturan ini sebagai gender apartheid atau diskriminasi sosial berbasis gender.
“Rancangan undang-undang ini menerapkan hukuman berat pada perempuan dan anak-anak perempuan atas ketidakpatuhan, yang bisa berujung pada penegakan hukum secara kasar,” kata para ahli di PBB, sebagaimana dikutip dari Al Jazeera.
“RUU ini juga melanggar hak-hak dasar manusia, termasuk hak untuk mengambil bagian dalam kehidupan berbudaya, larangan terhadap diskriminasi gender, kebebasan berpendapat dan berekspresi, hak untuk melakukan aksi protes secara damai, dan hak untuk mengakses layanan sosial, pendidikan, dan kesehatan, serta kebebasan pergerakan,” lanjut mereka.(*)