Ilustrasi idul Adha. Foto: Pinterest

Shalat, Iphone 16, dan Seekor Kambing: Ironi di Hari Raya Idul Adha

Ada yang terasa janggal setiap kali Hari Raya Idul Adha datang. Kumandang takbir menggema dari pengeras suara masjid. Status dan cerita media sosial dipenuhi ucapan selamat dan kata-kata bijak berkurban. Tapi panitia kurban kambing, domba dan sapinya masih satu-dua saja. Banyak wajah berkecukupan yang tiba-tiba ragu, berlalu pura-pura menyembunyikan wajah malu. 

Entah kenapa, semangat berkurban tidak seantusias semangat menyambut liburan. Padahal, berkurban adalah satu dari dua perintah eksplisit dalam Surat Al-Kautsar yang pendek tapi padat makna: Shalatlah dan berkurbanlah karena Tuhanmu.

Tak bisa dipungkiri, kesadaran umat Islam akan pentingnya shalat meningkat pesat. Di kantor-kantor, shalat berjamaah mulai hidup kembali. Di rumah, para ayah mulai menjadi imam bagi anak-anaknya. 

Namun, ada sebagian dari kita yang begitu giat menjaga shalat lima waktu, tapi enggan mengingat bahwa kurban juga perintah langsung dari Allah, dalam ayat yang sama. Terkesan, sholat dijunjung, berkurban tergantung. 

Mengapa? Jawabannya sering kali sederhana tapi menyedihkan. Mahal. Lagi enggak cukup tabungan. 

Seekor kambing, apalagi sapi, dianggap membebani kantong. Tapi, ironinya, di kantong yang sama, sudah ada iPhone 16, tas branded harga belasan juta, motor yang gemerlap, bahkan cicilan mobil. 

Di sisi kiri lemari, ada sneakers edisi terbatas. Di sisi kanan, ada celengan untuk healing ke luar negeri. Tapi entah mengapa, tak ada ruang untuk seekor kambing kurban.

Seorang ustaz pernah berkata, “Kurban itu bukan soal kambing atau sapi, tapi soal apakah kamu bisa menyembelih ego dan rasa kepemilikanmu.” 

Kalimat itu menampar, sebab memang benar, yang sulit bukan membeli kambing, tapi melepas genggaman atas harta yang kita cintai. Kurban adalah ujian keikhlasan, bukan ujian kemampuan. Banyak yang mampu, tapi belum mau.

Ini ironi. Umat yang sanggup menghafal banyak doa dan ayat, menunduk khusyuk di setiap rakaat, tapi gagal menundukkan rasa sayang pada hartanya sendiri. Bukankah Allah sudah mengingatkan dalam Al-Qur’an?

“Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai…” (QS. Ali Imran: 92)

Kurban bukan tentang apa yang kita sembelih, tapi tentang ego yang disembelih. 

Idul Adha bukan sekadar hari menyembelih hewan. Ia adalah momentum menyembelih rasa “aku” demi “Dia.” Ketika Nabi Ibrahim rela menyembelih anaknya, dan Ismail berserah dalam ketaatan, kurban menjadi simbol pengorbanan terdalam dalam hidup manusia. Kini, kita tak lagi diperintahkan menyembelih anak. Cukup kambing atau domba. Tapi apakah banyak yang mau dan  sanggup?

Kadang kita lupa, ibadah bukan hanya soal menjalankan kewajiban, tapi menunaikan cinta. Kita shalat karena rindu kepada-Nya. Kita berkurban karena ingin mendekat pada-Nya. Namun jika shalat hanya menjadi rutinitas, dan kurban dianggap beban, jangan-jangan kita hanya sedang menjalani agama sebagai budaya, bukan jalan hidup. 

Jika Allah telah memberimu begitu banyak: kesehatan, rezeki, pekerjaan, keluarga, gawai mahal, kendaraan mentereng, mengapa masih pelit kepada-Nya?

Di hadapan ayat pendek ini, fa shalli li rabbika wanhar, kita diingatkan untuk menyeimbangkan antara ritual dan pengorbanan, antara hubungan vertikal dan kepedulian sosial.

Maka mari introspeksi, sudahkah kita benar-benar shalat karena Tuhan? Sudahkah kita rela berkurban karena cinta? 

Sungguh, ego memang kadang lebih mahal dari seekor kambing kurban! 

Tabik. 

-Penulis: Ngopi5waktu (Penikmat kopi yang menerenung)

Artikel Terkait