Ilustrasi tidur qailulah yang dianjurkan dalam Islam. Foto: Freepik

Waktu Tidur Terbaik Menurut Islam, Ada yang Tidak Dianjurkan

Tidur tidak hanya mengistirahatkan tubuh, selain itu baik untuk kesehatan fisik dan mental.

Sebuah studi dilakukan American College of Cardiology menemukan fakta, bahwa orang dengan kualitas tidur yang baik, memiliki risiko kematian lebih rendah.

Salah satu cara meningkatkan kesehatan tubuh adalah dengan membiasakan pola tidur yang baik. Tidur nyenyak berperan mendukung kesehatan jantung dan tubuh secara keseluruhan.

Melansir laman Kementerian Kesehatan, total waktu tidur dibutuhkan manusia memiliki perbedaan dari faktor umur. Berikut kebutuhan tidur manusia sesuai usia:

  • Bayi butuh tidur ± 16 jam per hari
  • Remaja butuh tidur ± 9 jam per hari
  • Dewasa butuh tidur ± 7-8 jam per hari.

Kebutuhan waktu tidur seseorang akan meningkat sesuai kekurangan waktu tidurnya pada hari-hari sebelumnya, sehingga kurang tidur menciptakan “utang tidur” pada hari-hari berikutnya. Pada akhirnya, tubuh secara alami akan menuntut agar utang tidur tersebut dilunasi.

Kekurangan tidur akan membuat seseorang mudah lemah dan sulit mengendalikan emosi saat beraktivitas siang hari.

Melansir NUOnline, dalam Islam Al-Qur'an menjelaskan waktu tidur yang baik. Dalam Al-Qur’an dijelaskan:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan” (QS Ar-Rum: 23).

Porsi tidur ideal bagi manusia dalam sehari semalam adalah kisaran enam sampai delapan jam, dengan menyertakan tidur qailulah (tidur sebentar) di siang hari. (Jalaluddin as-Suyuthi, Ar-Rahmah fi at-Thib wa al-Hikmah, hal. 20)

Waktu Tidur yang Dianjurkan

Waktu tidur yang dianjurkan adalah tidur waktu qailulah. Dalam hadits dijelaskan:

“Tidurlah qailulah (siang hari) kalian, sesungguhnya setan tidak tidur di waktu qailulah” (HR ath-Thabrani).

Waktu qailulah ini ada yang menafsirkan tidur sebelum waktu dzuhur (tergelincirnya Matahari), ada pula yang menafsirkan setelah masuk waktu dzuhur.

 

Yang pasti, fungsi utama tidur qailulah ini adalah sebagai persiapan agar bisa melaksanakan qiyam al-lail dengan salat dan berdzikir malam hari.

Waktu Tidur yang Tidak Dianjurkan

Ada waktu-waktu tertentu tidak dianjurkan bagi seseorang untuk tidur yaitu setelah salat subuh sampai terbit Matahari, setelah masuk waktu ashar, dan sebelum melaksanakan salat isya.

Pertama, tidur setelah salat subuh sampai terbit Matahari.

Tidur di waktu ini dipandang akan terhalangi mendapatkan berkah rezeki dan umur. Sebab waktu tersebut merupakan waktu diturunkannya keberkahan rezeki pada seseorang.

Hal ini seperti dijelaskan Habib Zain bin Smith:

“Tidur setelah subuh menghilangkan berkah rezeki dan berkah umur, sebab berkahnya umat ini ada di waktu pagi, yakni waktu setelah salat subuh sampai terbitnya Matahari” (Habib Zain bin Smith, Fawaid al-Mukhtarah, Hal. 590).

Kedua, tidur setelah masuk waktu ashar.

Tidur pada waktu ini berisiko mengurangi daya aktif akal pelaku. Dalam salah satu hadits dijelaskan:

“Barang siapa tidur setelah waktu ashar, lalu hilang akalnya, maka jangan pernah salahkan kecuali pada dirinya sendiri” (HR Ad-Dailami).

Meski para ulama menghukumi hadits di atas sebagai hadits dlaif namun hadits di atas masih relevan dalam konteks fadla’il al-a’mal (perbuatan keutamaan).

Waktu tidur tidak dianjurkan ketiga, adalah tidur sebelum melaksanakan salat isya. Dalam salah satu hadits shahih dijelaskan:

“Sesungguhnya Rasululullah tidak senang tidur sebelum salat isya dan berbincang-bincang setelah salat isya'” (HR al-Bukhari).

Sebab dimakruhkannya tidur sebelum melaksanakan salat isya adalah dikarenakan khawatir akan habis waktu isya karena tidur terlalu lelap, seperti kebiasaan kebanyakan orang yang tidur di malam hari namun belum melaksanakan salat isya.

Alasan demikian seperti dijelaskan dalam kitab ‘Umdah al-Qari Syarah Shahih al-Bukhari:

“Adapun sebab makruhnya tidur sebelum isya karena akan berpotensi hilangnya waktu isya dengan menghabiskan waktu untuk tidur dan juga supaya orang-orang tidak menganggap enteng hal demikian, hingga mereka tidur dan meninggalkan salat isya secara berjamaah. Adapun makruhnya berbincang-bincang setelah isya karena akan mendorong untuk begadang dan dikhawatirkan akan tertidur hingga meninggalkan qiyamul lail, berdzikir saat malam dan meninggalkan salat subuh” (Badruddin al-‘Aini, ‘Umdah al-Qari Syarah Shahih al-Bukhari, juz 5, hal. 66).(*)

Artikel Terkait